Selasa, 04 Juni 2013

Reblocker

Di tengah laju modernisasi, cukup banyak juga kelompok kesenian tradisional yang ternyata masih mampu mempertahankan kelestarian eksistensinya. Sore, tiga hari yang lalu ketika saya hendak merapat ke Panaongan (rumah singgah bagi para pecinta kreatifitas dan merdeka). 



Melewati daerah Cempedak Kreongan. Sampai di depan rumah Mas Hendro (pengasuh grup kesenian tradisional Patrol, Macan Kadhuk, dan Pencak) kebetulan beliau bersama beberapa kawan muda sedang sibuk membuat sesuatu. Sekilas saya melihatnya lalu berniat untuk berhenti, sebelum saya menghentikan laju motor ternyata Mas Hendro melihat saya juga lalu mbengok "hoee doon ayo mampir sik" (haii don ayo mampir dulu).


Beberapa pemuda terlihat sedang menyuwir-nyuwir tali rafia, untuk kemudian ditempelkan ke rangka tubuh Macan Kadhuk. Beberapa pemuda lagi terlihat sedang cek alat musik Patrol. Esok harinya akan tampil di acara hari lahir Pancasila.     



Reblocker, nama grup musik Patrol yang diasuh oleh Mas Hendro sejak tahun 1984. Berawal dari hobi dan motivasi untuk memberdayakan para pemuda Dusun Cempedak secara positif, lalu beliau membentuk sebuah grup musik tradisional (Patrol). 


Sedari tahun 1984 grup Patrol asuhan Mas Hendro sudah malang melintang pada acara-acara ataupun kompetisi musik tradisional, tidak hanya di Jember tapi se-wilayah Karisidenan Besuki. Dalam perjalanan-nya grup Patrol ini banyak mengalami pasang surut, baik di sisi pemain maupun pengelolahan. 


"Ndisik, nek main bayarane kesuwun. Kadang yo cukup dikei sego bungkusan karo rokok, iku wis cukup seneng rek-arek" (dulu, kalau main sering dibayar terima kasih, kadang cukup dikasih nasi bungkus dan rokok. Anak-anak dengan itu sudah cukup senang). "Nek saiki masio hobi yo aku ngelolahe profesional, nek gak ngunu yo gak iso urip don" (Kalau sekarang meskipun hobi aku megelolahnya profesional, kalau tidak begitu ya mana bisa hidup).


Seiring waktu tidak hanya Patrol yang dijadikan media berkesenian bagi warga Cempedak, ada Can-Macanan Kadhuk dan Pencak Silat. 


Setengah jam lebih berlalu, saya pamit untuk melanjutkan perjalanan ke arah Jl, Slamet Riyadi Patrang. Semoga kesenian tradisional di Jember tetap lestari.

Salam budaya. 

5 Jam Di Situbondo, Dan Kenyang

Baru saja pelajar setingkat menengah atas maupun menengah pertama melewati euforia kelulusan. Puji syukur, keponakan saya di  Situbondo juga masuk dalam daftar pelajar menengah pertama yang lulus. 

Dan, minggu 2 Juni 2013 yang lalu saya sekeluarga (termasuk si kecil Bumi`~anak saya ) mengunjungi keponakan saya yang baru lulus itu. 

Pagi saya sempatkan sarapan, istri memasak pecelan dilengkapi lawu ayam goreng. Seperti biasa, begitu dalam perjalanan perut saya mulai lebai a.k.a lapar hahaha. 

Separuh perjalanan atau sesampai di Bondowoso, saya mampir di daerah Tenggarang untuk melumat Soto Pojok langganan saya. Warungnya kecil kira-kira ukuran ruangnya 4x2m,  tempatnya kurang terawat, kebersihanya kurang terjaga, tapi...rasa sotonya 'kelas bintang 5'.  

Sotonya tanpa penyedap rasa, jika ingin menambahkan rasa si empunya warung menyediakan penyedap rasa di sebuah tempat kecil, termasuk garam, koya, dan sambal. Babatnya sangat empuk. Saking menikmatinya dengan cetar membahana saya sampai lupa memfotonya hehehe.

Selesai itu sampailah saya sekeluarga di Situbondo, tepatnya di Jl. Madura (tidak jauh dari terminal Situbondo). Selain disambut oleh sepupu dan keponakan-keponakan saya, disambut juga dengan penganan khas Apen dan Putu. Apen semacam serabi dengan saos pada umumnya, gula merah dicairkan plus irisan nangka.   

Apen

Putu

Ya sudah pasti saya tidak menyia-nyiakan hidangan khas itu, serbuuu hahaha. Lha kok ndilalah 15 menit setelahnya sepupu saya mengajak ke Pelabuhan Kalbut untuk mengambil pesanan ikan, cukup 10 menit sudah sampai di Pelabuhan Kalbut.

Ya, Pelabuhan Kalbut memang tidak jauh dari pusat kota (sebelum Pelabuhan Panarukan).  Kalbut  tempat para nelayan menyandarkan kapalnya, sekaligus tempat jual-beli ikan (selain Pelabuhan Panarukan).

 Plang Selamat Datang  

                                                          Pelabuhan Kalbut Sisi Dalam

Sepupuku memberi kode untuk berhenti di sebuah rumah, dan pemilik rumah ternyata sudah menunggu di teras sambil  menyanding box ikan ukuran medium. Didalamnya sudah juga ada ikan yang masih segar plus es batu untuk menjaga kesegaran ikan. 

"Ini baru diturunkan dari perahu ini dik, itu perahunya masih kelihatan kan" (kata si mas pedagang). Benar saja, ada perahu jukung tanggung yang masih baru bersandar, terlihat beberapa orang didalam perahu menurunkan keranjang-keranjang berisi ikan segar. 

Perahu Jukung

Ini adalah ikan yang dipesan oleh sepupu saya, namanya ikan Mangla, agak mirip dengan kakap merah atau kuniran. Adanya di dasar laut, salah satu jenis ikan dasar laut. Kebanyakan para nelayan di daerah Kalbut atapun Naroghen (Panarukan) untuk menangkap ikan Mangla menggunakan jaring pukat harimau.

Jika ikan Mangla sedang banyak, harga per-1 kg Rp.4000 s.d Rp.7000. Jika sedang sedikit harga per-1 kg Rp.10.000 s.d Rp.17.000. Kebetulan minggu itu ikan Mangla sedang sedikit, jadi kami kena harga Rp.10.000, berhubung sepupu saya sudah langganan, si mas pedagangpun memberi bonus 1 kg pada kami, Alhamdulillah.

Ikan Mangla



Selesai dari Pelabuhan Kalbut, kami membakar lalu menyantapnya ramai-ramai. Itupun masih tersisa cukup banyak, kapasitas perut kami tidak memadahi hahaha. Sisanya kami bagikan ke sanak saudara yang lain. 

Akhir pekan yang mengandung kuliner. Dan, kenyang..Alhamdulillah. 

Minggu, 28 April 2013

Mimpi Tentang Jalanan Di Jember


Mendambakan penggunaan kendaraan bermotor di Jember diminimalisir. Misalkan Pajak ditinggikan, pembelian sistem kredit, distribusi dibatasi.

Pengurusan SIM diperketat, sistem SIM satu tahun. Apabila dalam satu tahun tidak terkena tilang atau menabrak, maka tahun berikutnya dapat diperpanjang dan mengikuti ujian SIM lagi. Begitu seterusnya.

Jika kendaraan bermotor sudah minim. Yang banyak dijumpai hanya pejalan kaki, penggowes sepeda, dan angkutan umum. Menarik.

Bagaimana dengan warga di pedesaan yang tidak mempunyai kendaraan bermotor?. Disediakan angkutan pedesaan gratis, sejenis minibus/colt Bison, sejenis 4WD double cabin, dan motor trail. Yang dapat menjangkau hingga ke pelosok pedesaan.Jalur angkutan pedesaan dari desa ke terminal atau stasiun kecamatan.

Untuk warga perkotaan disediakan rail bus, kereta bawah tanah, kereta layang, dan bus. Dengan harga sangat terjangkau. Gratis untuk pelajar (SD, SMP, SMA) atau yang sederajat. Jalur angkutan perkotaan dari terminal atau stasiun kecamatan-kota-kembali lagi ke terminal atau stasiun kecamatan.

Sebagai antisipasi kepadatan kendaraan bermotor sekaligus mengurai jalur-jalur kendaraan bermotor dan angkutan umum. Dibangun jalan layang, jalan bawah tanah, dan jalan tol (gratis).
Area pedestarian (trotoar) untuk pejalan kaki diperluas dan benar-benar dijaga fungsinya. Sebagai bentuk meletarikan budaya bangsa dan untuk membangun daya tarik wisata, angkutan tradisional dilestarikan kembali di jalur-jalur khusus. Seperti ; dokar (ditarik kuda), becak, pegon/cikar (ditarik sapi).

Para pengelola dan khususnya pengemudi angkutan umum dengan intens diberikan pelatihan atau briefing tentang safety driving, etika pelayanan. Agar selalu terbangun ketertiban dalam berlalu-lintas, dan dapat selalu menciptakan rasa nyaman bagi para pengguna angkutan umum.

Bandara Notohadinegoro yang terakhir akan membuka jalur penerbangan ke Bali setelah jalur ke Surabaya, di aktifkan kembali dengan sistem pengelolahan baru, manajemen baru tentunya yang lebih jauh baik.

Hmm sudah terbayang. Jika seperti itu penataan transportasinya, jalanan Jember mungkin akan damai, terlihat rapi dan tertib.

Komunitas Kesenian Rakyat 'Yakso Kusumo'


Di sebuah tanah lapang di dusun nomor sembilan desa Curahnongko,  35km dari pusat kota Jember. Terdengar alunan musik tradisional sebagai penanda dimulainya pertunjukan kesenian tradisional.  Setelah sebelumnya beberapa pinisepuh desa melakukan ritual dan memanjatkan doa syukur dan keselamatan.
1358847691115707629
Hari itu sedang ada acara semacam tasyakuran, “selametan petik panen”.  Tasyakuran  sebagai penanda dimulainya menanam di lahan yang dikelolah secara kolektif oleh warga.  Hampir berbagai  kegiatan warga desa Curahnongko dalam puncak acaranya selalu menyajikan pertunjukan kelompok kesenian tradisonal kebanggaan mereka.  Kelompok kesenian tradisional Yakso Kusumo.
1358847800218457856
Kelompok kesenian tradisonal ini dibentuk, dikelolah, dan para pemainya pun adalah warga desa Curahnongko itu sendiri.  Kelompok kesenian tradisional Yakso Kusumo terbagi dalam tiga bentuk kesenian, yaitu ; Jaranan, Lengger,  dan Ludruk.
1358847882758360224
Dibagi pula waktu pertunjukanya. Jaranan main pagi s.d sore, Lengger main  malam hari s.d tengah malam, Ludruk main tengah malam s.d pagi menjelang.  Warga desa Curahnongko selalu setia menonton dari jam-perjam.
13588479251792706716
Bagi warga desa Curahnongko kelompok kesenian tradisional Yakso Kusuma tidak saja dimanfaatkan sebagai wadah berkesenian, tapi juga sebagai media silaturahmi.  Hingga hari ini kelompok kesenian tradisional Yakso Kusumo masih terus eksis di tengah-tengah laju modernitas.

Mimpi tentang Jember (Hutan Kota)


Selama bermimpi tidak dikenakan beban pajak oleh negara, baiklah saya akan bermimpi tentang kota kelahiran saya, Jember.  Saya tidak bermaksud Jemberisme, hanya kebetulatan saya lahir dan bereksistensi di Jember.

Saya kira alamiah jika kita menginginkan tempat dimana kita tinggal beserta lingkungan sekitarnya nyaman, rapi, bersih, tertib, indah.

Mendambakan hutan kota di pusat kota dengan luas sekian hektar. Ditanami banyak  pohon yang tidak saja membuat teduh tapi juga dapat menyerap polusi dan menyerap air.
Ada area bermain anak-anak yang sifatnya edukatif, ada area untuk bercengkerama keluarga dengan balai-balai tradisional.

Ada area urban farming (bertani di tengah kota), warga perkotaan bisa belajar bertani sambil berekreasi. Ada area outbond, ada camping ground.

Ada area botani praktis, warga bisa belajar mengenal banyak jenis tanaman. Ada kolam-kolam ikan, burung-burung dipelihara bebas (tidak ditangkar).
Bagaimana dengan perokok (seperti saya)?, tentu disediakan area merokok di sebuah tempat tertutup.

Bagaimana dengan kebersihan?, sebelum masuk hutan kota warga diberi dua kantong plastik. Satu bertuliskan sampah kering, satu lagi bertuliskan sampah basah. Petugas kebersihan disiagakan 24 jam (rolling/shift). Di banyak titik, menaruh tempat sampah pendam (ditanam di tanah), jadi tidak mengurangi keindahan pandangan mata.

Bagaimana dengan ketertiban dan keamanan?. Petugas yang direkrut dari masyarakat sipil, disiagakan 24 jam (rolling/shift). Simpatik, tidak kaku, namun tegas. Memakai pakaian tradisional Jember. Adaptasi konsep Pecalang di Bali. Di beberapa titik dipasang CCTV. Ada sanksi bagi warga yang melanggar peraturan di hutan kota.

Bagaimana dengan perawatan pohon-pohon atau tanaman yang ada di hutan kota?. Tentunya ada petugasnya tersendiri dibawah koordinasi para ahli lingkungan atau tanaman.

 Warga juga diajak untuk berpartisipasi. Misalkan seminggu sekali tiap kelurahan dihimbau mengerahkan warganya untuk melakukan bersih-bersih hutan kota. Bagi relawan-relawan yang ingin juga berpartisipasi didata dan difasilitasi.

Untuk efektivitas lahan dan agar tidak menganggu jalan umum, maka dibuat area parkir bawah tanah (basement).

Sepertinya akan sejuk plus menyenangkan jika Jember punya hutan kota, di pusat kota.

Jumat, 22 Maret 2013

Di Bulan 3, Pukul 03.43 Wib


Tanggal 24 di bulan TIGA, tahun2012. Tengah malam itu istriku sibuk wira-wiri ke kamar kecil. Seperti biasanya, aku sudah tidur malam itu, tapi sempat samar-samar melihat istriku yang tengah sibuk mondar-mandir ke lantai bawah.

Mungkin cukup melelahkan bagi istriku yang sedang hamil tua kala itu, naik turun tangga dari lantai 1 ke lantai 2,dan sebaliknya. Aku bereaksi biasa saja, dan meneruskan tidurku. Karena malam-malam sebelumnya kebiasaan istriku mondar-mandir ke kamar kecil bagiku sudah menjadi hal biasa. Makin tua usia kandungan maka akan sering buang air kecil.       

Di tengah malam itu, sebenarnya aku sedikit heran, intensitas ke kamar kecilnya malam itu sering sekali. Tapi karena istriku tidak membangunkanku, aku anggap baik-baik saja dan  tidurku lanjut terus. Hingga pada sekitar pukul 02.20 dini hari istriku membangunkanku untuk minta dibantu ke lantai bawah, "pa, aku dari tadi pipis terus, dan rasanya seperti mau pup tapi kok gak bisa di pup-kan ya pa?".

Mungkin istriku cukup lelah jalan sendiri ke lantai bawah, lalu kupapah dia menuju lantai bawah. Sesampai di lantai bawah sebelum masuk kamar kecil, istriku menuju dapur dulu untuk minum air putih (dapur ke kamar kecil jaraknya hanya 6 langkah).

Belum sempat menuangkan air di botol ke gelas, tiba-tiba dari (maaf) selangkangan istriku keluar cairan cukup banyak, putih agak kental bercampur warna merah.

Istriku panik, aku lebih panik tapi didepan istriku aku kuat-kuatkan untuk tidak menampakan kepanikan-ku (asline ndredeg). Saat itu juga, kupapah istriku ke ruang depan, aku ambil kendaraan, kupapah istriku ke dalam kendaraan, dan dengan sedikit "mencuri jalan" atau melawan arus, kutancap gas menuju rumah sakit PTPN Kaliwates yang jaraknya sekitar 5km dari rumahku.

Sesampai di rumah sakit, istriku langsung ditangani dengan cekatan oleh 2 bidan yang sedang piket, dan Alhamdulillah salah satu bidan piket itu adalah bidan andalan kami, bidan Uswatun.

Saat istriku dibawah masuk ke ruang pemeriksaan, sebelum aku mengurus adminsitrasi, aku pastikan keadaan istriku dulu. "pak, istri sampean sudah bukaan 4 ternyata, sepertinya prosesnya akan cepat, ya moga-moga saja lancar ya pak".

Setelah aku urus adminstrasi, aku bergegas menemani istriku di dalam ruang pemeriksaan. Melihat kondisi sepertinya normal-normal saja, lalu aku memberi kabar pada orang tua dan mertua.

Pukul 02.55 Wib bukaan 8, pukul TIGA lewat 43 menit, tanggal 25 bulan TIGA Alhamdulilah anak-ku lahir, Alhamdulillah sehat tidak kurang suatu apapun, Alhamdulillah diberi banyak kemudahan dan kelancaran.

Setelah kupastikan keadaan bayi dan ibunya baik-baik saja, aku keluar ruangan dan sujud syukur, lalu... menangis sejadi-jadinya dipelukan ibuku, menangis lantaran bahagia dan tidak tega mengingat istriku yang kesakitan luar biasa.

Dan kuberi nama anak lelaki-ku yang lahir di bulan TIGA itu, Al Ghofar Wirabumi.

POSTINGAN PENUH RASA SYUKUR INI UNTUK MEMERIAHKAN SYUKURAN RAME-RAME MAMA CALVIN,LITTLE DIJA,DAN ACACICU

Senin, 18 Maret 2013

Buah Naga Merah


Saat saya dan keluarga memasuki kawasan Agrowisata Rembangan disambut dengan hawa sejuk dataran tinggi, cuaca sedikit mendung dan hujan gerimis.  Sebelum masuk pos tiket, kami melewati areal peternakan sapi perah. Di beberapa titik pinggir jalan ada warga setempat berjualan susu sapi yang masih segar (baru memerah).

Tujuan utama kami ke kawasan Agrowisata Rembangan adalah membeli buah naga, banyak kawan dan para ahli gizi mengatakan bahwa kandungan gizi buah naga bagus sekali untuk balita  seusia anak saya (9 bulan), terutama buah naga jenis warna orange.
Saat sampai di tempat pusat penjualan buah naga, kami melihat-lihat dan bertanya. Ternyata jenis buah naga orange harus dipesan dulu, ” sekitar 2 bulan lagi mas baru ada, karena kalau jenis orange butuh perlakuan khusus, ini kami baru saja tanam”.  Tanpa banyak tanya tentang jenis orange saya langsung bertanya “yang ada sekarang yang warna apa mas?”.  ”Ya ini seperti yang sampean lihat, merah sama putih” sahut si mas penjual.
Akhirnya kami sekeluarga memilih membeli jenis buah naga merah dan putih. Sebelum membel, oleh penjual kami dipersilahkan untuk mencicipi (tester), dan dipersilahkan memilih besar dan kecilnya buah naga. Harga jenis buah naga merah dan putih sama, sedangkan besar dan kecilnya dimensi buah  mempengaruhi harga.  Kecil Rp.10.000, sedang Rp.12.000, besar Rp.15.000.

Tempat penjualan buah naga masih satu kawasan dengan Agrowisata Rembangan, hanya pengelolahanya saja yang berbeda.  Agrowisata Rembangan sekitar 12km ke arah utara dari pusat kota Jember, tepatnya di Desa Kemuning Lor Kecamatan Arjasa.
Selesai buah naga ditimbang dan membayar, kami sekeluarga melanjutkan naik ke areal pemandian dan resto Rembangan.  Dan di situ kami memakan sebagian buah naga,  sembari menikmati landscape cukup indah.

Can-Macanan Kadhuk

Dalam bahasa Indonesia can-macanan kadhuk artinya adalah harimau-harimauan yang terbuat dari karung goni.

Kesenian ini diperkirankan berasal dari tradisi pekerja kebun ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan hewan liar ataupun pencuri. 

Akulturasi dari Barongsai (Tionghoa) dan Barongan (Blambangan) yang diiringi instrumen musik paduan dari Ponoragan, Mataraman, dan Madura.

Can macanan kadhuk pertama kali digunakan petani di zaman penjajahan Jepang untuk mengusir hewan seperti kera, babi hutan yang sering merusak tanaman palawija.

Seiring perkembangannya, kesenian can macanan kadhuk, akhirnya disempurnakan dengan menambah kesenian lain. Seperti jaranan, pencak silat dan tarian buk sukera dari Madura.

Kesenian ini tidak hanya menonjolkan hiburan semata. Namun di sisi lain ada pesan sosial yang terkandung di dalamnya.

Pada pertunjukan kekinian-nya, seringkali kesenian ini menggambarkan seekor harimau yang turun gunung atau keluar hutan, karena hutan yang ditinggalinya gundul sehingga harus memangsa anak-anak.

Pementasan can macanan kadhuk biasanya untuk memeriahkan acara hajatan atau perayaan hari-hari besar.

Proses pementasan kesenian Can-Macanan Kaduk ini biasanya dimulai dengan burung Garuda, Can-Macanan, atraksi anak-anak, pertunjukan bela diri tangan kosong lalu penampilan atraksi berpasangan yang diakhiri dengan pertunjukan 'Marlena'.


photo dari google
caption

Palagan Karang Kedawung





Lokasi penyerbuan oleh Belanda dengan target utama pimpinan Brigade III Damarwoelan ; Letkol Moch. Sroedji 

Brigade III Damarwoelan Divisi I T.N.I. Jawa Timur mengadakan Wingate Action (dari daerah Blitar ke daerah Besuki) menuju jalur Lumajang - Klakah - Jember - Banyuwangi.

Wingate Action tersebut berlangsung selama 51 hari. Menempuh perjalanan panjang, dengan jarak sekitar 500 km.

Sepanjang perjalanan, Brigade Brigade III Damarwoelan Divisi I T.N.I. Jawa Timur mengalami banyak pertempuran.

Puncak pertempuran terjadi pada 8 Februari 1949 di Desa Karang Kedawueng, Kabupaten Jember.

Letkol M. Sroedji gugur di medan perang, setelah berhari-hari bertahan dari gempuran (dan kejaran) pihak Belanda.

Tampak di photo.
Ibu Sudi Astuti Sroedji (putri ke-3 Letkol Moch. Sroedji)

Arif Widhi (anak dari putra ke-1 Letkol Moch. Sroedji, Bapak Drs. H. Sucahjo Sroedji)


Letkol Moch. Sroedji

Sumber Tulisan. RZ Hakim





Mochammad Sroedji adalah putra dari pasangan Bapak H. Hasan dan ibu Hj. Amna. Sroedji dilahirkan di Bangkalan - Madura, pada 1 Februari 1915. 

Istrinya bernama Hj. Mas Roro Rukmini, yang lahir dari pasangan M. Nitisasmito dan Siti Mariyam.

Putra putri dari pasangan M. Sroedji dan Hj. Mas Roro Rukmini :

- Drs. H. Sucahjo Sroedji
- Drs. H Supomo Sroedji
- Sudi Astuti Sroedji
- Pudji Redjeki Irawati Sroedji

M.Sroedji bersekolah di Hollands Indische School atau lebih dikenal dengan HIS. Kemudian menimba ilmu di Ambacts Leergang.

Ambacts Leergang itu semacam sekolah pertukangan. Pemerintah Belanda sengaja mendirikan sekolah-sekolah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja.

Sesudah menjalani masa pendidikan formal, pada tahun 1938 sampai tahun 1943, M. Sroedji bekerja sebagai Pegawai Jawatan Kesehatan (sebagai Mantri Malaria) di RS Kreongan Jember (sekarang menjadi RS P
aru).

Minggu, 17 Maret 2013

Kesenian Ujung

Pada mulanya Ujung adalah sebuah ritual untuk memanggil hujan ketika musim kemarau. 

Dilakukan oleh dua orang atau lebih, kemudian saling membenturkan rotan, bahkan saat dalam keadan trans (seperti kesurupan), rotan dipukulkan pada bagian badan.


Ritual saling memukul rotan sebagai simbol mengusir wabah penyakit, dan mengundang hujan.


Seiring waktu, Ujung menjadi sebuah kesenian rakyat. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini, kesenian Ujung dijadikan sebuah kompetesi dalam perhelatan acara tahunan Kabupaten.

   

Senin, 07 Januari 2013

Film Pendek (indie) di Jember ; 2

Sekitar tahun 2002, saya berkenalan dengan Toni Agustian, saat silaturahmi ke rumahnya kebetulan dia sedang asik utak atik sesuatu di depan monitor PC, rupanya dia sedang main-main editing video. Dan, kereeen benar-benar kreatif hasil editingnya. Animasinya, grafis-grafisnya, colouring clip-nya, dan yang lainya saya berani bilang 11-12 dengan standart editing MTV yang kala itu sedang trend di kalangan anak muda.

Saya bertambah terperangah saat saya tau bahwa Toni sudah membuat ratusan lagu, membuat puluhan video clip, dan itu dia kerjakan sendiri. Dengan media pengambilan gambar yang sederhana pula, ada yang pakai webcam, ada yang pakai handycam HI-8, ada yang pakai handphone, PC editing Toni pun saat itu spesifikasinya sangat biasa jika dibandingkan dengan PC standart video editing. Tapi hasilnya langsung membuat saya spontan bisa berbahasa Inggris, really-really amaziing.

Jelas saya bangga dan makin bersemangat, ternyata Jember punya seorang Toni Agustian yang kemampuan dalam multimedia bisa dibilang selevel tidak saja nasional tapi internasional. Dan itu dia pelajari secara autodidak.

Tahun 2005, beberapa kawan muda yang waktu itu berstatus mahasiswa Unej, muncul dengan mengusung konsep komunitas, dengan nama Koin (Komunitas Film Indie). Para pionirnya adalah Wahyu, Trik, Timbul, Muslika, Adi Sumeh, Pipin. Koin juga telah membuat banyak karya film pendek, telah 2 kali mengadakan Festival Film Jember. 

Telah berhasil pula membangun hubungan dengan kawan-kawan komunitas luar Jember, dan sempat beberapa kali mengundang mereka ke Jember. Pengkaderan anggota di Koin telah menghasilkan 3 generasi.  

Saya juga masih ingat dengan kawan-kawan Sinemastra (Sinema Sastra) Unej, kumpulan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia yang menempuh mata kuliah audio visual. Mereka juga pernah mewarnai geliat film pendek di Jember. Tapi saya tidak paham kapan tepatnya terbentuk dan memulai eksistensinya.  

Tahun 2007, kawan-kawan Ilmu Komunikasi Fisip Unmuh Jember muncul dengan KAVK (Karimata Audio Visual Komunikasi). Pionirnya adalah Tika, Noga, Galuh, Evi, Yeni, Galih. Beberapa kali telah mengadakan worskhop, dan menghasilkan karya-karya film pendek. Komunitas ini eksis hingga 2009, menghasilkan 2 generasi.

Tahun 2008 setelah selesai acara In-Docs Travelling (pemutaran dan workshop film dokumenter) di gedung PKM Unej, ada temu komunitas dan videomaker. Yang hadir waktu itu saya, Koin (4 orang), KAVK (3 orang), Sofie (In-Docs), Taufan Agustian, Toni Agustian, dan yang menggembirakan hadir juga kawan-kawan dari SMA 3 Jember, SMK 2 Jember, SMAK Santo Paulus Jember. 

Saat itu kawan-kawan SMA/SMK belum terbentuk secara komunitas, kehadiran mereka waktu itu justru ingin paham tentang perfilman dan komuntias film. Jadi, saat itu embrio-embrio videomaker dari kalangan pelajar SMA/SMK sudah mulai terbentuk.          

Tahun 2009, seorang pegiat film pendek asal Ajung Kalisat yang banyak berprosesnya di Kine Klub Unmuh Malang, berhasil masuk sebagai 5 finalis Eagle Award Documentary Competition yang diselenggarakan Metro TV. Dialah Taufan Agustian, dengan mengangkat potensi wisata kota kelahiranya, JFC (Merajut Impian Diatas Catwalk Jalanan). Dan berhasil meraih 3 kategori award.          

Setelah tahun 2009 saya tidak pernah mengikuti lagi perkembangan eksistensi kawan-kawan pegiat film pendek di Jember, saat itu saya juga lambat laun meninggalkan dunia film pendek (indie) ataupun dunia audio visual. Karena kondisi pekerjaan saya saat itu mengharuskan saya fokus penuh.     

Minggu, 06 Januari 2013

Film Pendek (Indie) di Jember ; 1

Pergerakan film indie di Jember tidak terlepas dari pengaruh akan bangkitnya kembali konsep produksi film secara mandiri. Sekitar tahun 1997/1998 sejumlah pegiat film muda di Jakarta seperti Riri Reza, Rizal Mantovani, Mira Lesmana, berhasil memicu bangkitnya kembali semangat independen (mandiri, tidak terikat dengan pihak manapun). Kuldesak, film indie yang menjadi triger bagi pegiat-pegiat film indie di berbagai kawasan di Indonesia.  

Geliat film indie di Jember diawali sekitar tahun 1999, ketika film indie garapan mas Ilham Zoebazary dengan dibantu oleh para pegiat audio visual yang mumpuni seperti mas Didik Suharijadi, dan mas Djoko Suprianto, berhasil menjuarai Festival Film dan Video Independen yang diselenggarakan oleh Komunitas Film Independen (Konfiden) di Jakarta, disuport juga oleh sebuah media televisi swasta nasional. 

Prestasi yang mengejutkan dan menjadi kebanggan tidak saja bagi masyarakat Jember tapi juga secara nasional. Mengejutkan karena sebagian besar masyarakat Jember bahkan bagi kalangan pelaku seni di Jember pun masih awam dengan konsep film pendek yang indie, plus pandangan pesimis tentang kota kecil Jember yang kala itu dinilai tertinggal jauh dengan  kota-kota besar di Indonesia.

Setelah itu, mereka bertiga terus berkarya menghasilkan banyak film-film pendek. Terbukti prestasi dan semangat mereka berhasil memicu banyak orang di Jember khususnya para pelaku muda kesenian. 

Tahun 2000, kawan-kawan muda dari beberapa organisasi intra kesenian yang sebelumnya hanya terikat kopi alias konco ngopi dan yang pasti ada ikatan sesama insan kesenian. Ikwan, Gama, Robi, Rosi (DKK Sastra Unej), Mamok (UKM Kesenian Pusat Unej), Oyot (UKM Gudang Unmuh Jember), Sapto (Sastra Unej).  

Dengan hanya bekal semangat ndil, dibantu beberapa kawan yang berpengalaman di audio visual dan didampingi oleh mas Didik Suharijadi sembari juga kon-takon ke mas Ilham dan mas Djoko. Karena film yang kami buat bertemakan kehidupan percintaan pelajar di pedesaan, maka kami merangkul SMAN 1 Balung melalui mas Heri sebagai guru ektra kulikuler kesenian.

Kami melakukan proses shooting  "Embun Mencumbu Debu" berdurasi 45 menit. Selama 1 bulan menetap di lokasi shooting (SMAN 1 Balung). Beberapa titik shooting tidak jauh dari SMAN 1 Balung. Pembuatan film Embun Mencumbu Debu sebagai media pembelajaran bagi kami.

Tahun 2001, saya merangkul beberapa kawan teater Layar Unmuh Jember (Abad, Trias, Susi)  dan mengajak beberapa kawan DKK Sastra Unej  (Nanda, Shomad, Bebeh, Dedi Junob, Robi)  membuat film pendek berduarsi 30 menit. 'Dialog Sudut Kota', film pendek pertama saya. Tetap berkonsultasi dengan mas Didik Suharijadi, bahkan proses pasca produksinya difasilitasi oleh mas Didik Suharijadi dan dibantu oleh Rosi di proses editing.

Setelah tahun itu saya terus bereksperimen dengan film-film pendek (video art, dokumenter, fiksi, bumper, video docs) sambil terus belajar kepada kawan-kawan videomaker ataupun komunitas film yang sudah berpengalaman, dari dalam maupun luar Jember. Dengan kawan luar Jember sekaligus membangun hubungan yang saling bermanfaat. Saat itu saya hanya punya senjata, HI-8. 

Tahun 2001 keatas, ada beberapa kawan videomaker maupun komunitas film luar Jember mulai datang bersilaturahmi dan berkegiatan (screening, workshop, distribusi film). Seperti mbak Lintang dari Konfiden Jakarta, Sofie dari In-Docs Jakarta, Dimas Kine Klub Unmuh Malang, dan kawan-kawan Forum Film "Kami Jogja Kita", dan beberapa kawan lainya (saya lupa nama dan lembaganya).
    

Sabtu, 05 Januari 2013

Lelaki Bernama Bumi



Lelaki kecil bernama Al Ghofar Wirabumi. Nama itu muncul begitu saja, jauh sebelum saya menikah. Saat berniat, jika kelak setelah menikah lalu di karuniai anak, saya akan memberi nama anak saya yang sederhana saja, mudah diingat, bernuansa nusantara, mengandung arti yang baik dan memunculkan energi positif.  

Selesai itu saya tidak pernah sekalipun mencari-cari sebuah nama. Tidak lama lalu muncul begitu saja di kepala saya,Wirabumi. Walaupun saya bertanya-tanya dari mana dan bagaimana bisa nama Wirabumi yang spontan muncul di kepala saya, saya tidak ada niatan mencari taunya dan tidak perlu untuk mencari taunya. 

Saya bukan seorang kejawen, bukan seorang muslim yang fanatis, bukan penganut ideologi/aliran politik tertentu. Saya seorang yang biasa-biasa saja, berusaha hidup dengan baik, selayaknya orang-orang pada umumnya. Ketika muncul nama itu saya tidak menolaknya tapi tidak juga menerimanya dengan histeria. 

Saat itu saya hanya mengucap syukur atas anugerah nama yang begitu baiknya, lalu saya simpan baik-baik di memori otak saya nama itu. Untuk memastikan arti Wirabumi menurut saya, lalu saya konsultasi ke mbah google, menurut beberapa situs, arti kata Wirabumi adalah ; pemimpin bumi.         

Sekitar 1,5 bulan usia kehamilan istri saya, terpikir untuk menambahkan kata bernuansa muslim di depan Wirabumi, karena saya minim pengetahuan tentang nama-nama bernuansa muslim yang notabene berbahasa Arab daripada salah memberi nama, untuk lebih aman-nya saya memilih mencari nama-nama sebutan untuk Allah, sudah pasti 100% dijamin tidak salah dan dijamin bermakna baik.       

Saya memilih Al Ghofar,arti ke-Ilahian-nya adalah Yang Maha Adil. Saya sempat ragu, karena itu sebutan Ilahi, sangat Agung. Apakah tidak masalah diberikan kepada manusia, apakah pantas?. Lalu saya bertanya kepada beberapa orang yang saya anggap mumpuni ke-Islamanya. 

Ternyata tidak ada masalah, salah satunya berkata begini "selama niatanya tidak untuk 'men-Tuhan' kan yang diberi nama, atau niatanya mengambil spirit dari nama-nama Allah tersebut agar yang diberi nama terlindungi, dan kelak akan selalu ingat kepada yang menciptakanya, itu kan sangat bagus mas".

Mantablah sudah saya menambahkan nama depan anak saya, Al Ghofar Wirabumi. Jika artinya digabungkan menjadi pemimpin bumi yang adil atau pemimpin bumi yang paham akan keadilan. 

Orang tua manapun pasti menginginkan anaknya menjadi yang terbaik, dengan memberi nama yang terbaik pula.

Terima kasih Tuhan, selamat datang di Bumi nak, terima kasih telah melengkapi kebahagiaan kami.             
      

Jember Kota Beribu Rasa


Apa akar budaya kota Jember?

Wacana yang masih sering diperbincangkan dan diperdebatan mulai dari kalangan akademisi, aktivis kampus, peneliti sejarah, blogger, ormas tertentu, pers, hingga masyarakat awam. 

Bahkan masyarakat luar Jember yang pernah tinggal cukup lama di Jember, atau masyarakat luar Jember yang memilih berdomisili di Jember banyak juga yang ikut mewacanakan-nya.  

Itu sangat positif, menandakan bahwa Jember disayangi begitu banyak orang.  

Apapun wacananya apapun perdebatanya, bahwa yang pasti kondisi terkini di suatu daerah terbangun dari peradaban di waktu lalu, terbangun dari budaya-budaya yang masuk ke daerah itu. Kemudian secara alamiah (terjadi akulturasi budaya-budaya) yang kemudian membentuk budaya tersendiri.       

Saya melihat Jember sebagai sebuah anugerah tersendiri, tanpa perlu bingung tentang akar budayanya.    Anggap saja seperti menikmati album kompilasi musik dengan beragam genre. Ada banyak rasa, banyak ragam suara instrumen musik, banyak kesan, banyak pesan, banyak style, tentu juga banyak pilihan. 

Beragam-nya budaya-budaya yang dibawa masuk oleh para pendatang, mulai dari bahasa, seni, hingga kuliner menambah kayanya keberagaman di Jember. 

Mungkin saya agak congkak sedikit, kuliner apa sih yang tidak ada di Jember?. Nasi kabuli (Arab), roti cane (India), kebab (turki), gudeg (Jogja), coto (Makasar), nasi rendang (Padang), pempek (Palembang), pecel (Madiun), tahu kikil campur (Lamongan), nasi ayam hainan (Tiongkok), sate lilit (Bali), tape (Bondowoso), rujak soto (Banyuwangi), dan masih banyak lagi lainya.

Benar-benar banyak rasa, dan itu pilihan-pilihan yang tidak sepatutnya dilewatkan hehehe. 

Dari kuliner turun ke rasa, dari rasa memunculkan kesan, Jember kota beribu rasa.     

Selasa, 01 Januari 2013

Pagi di Darungan


Di ujung tahun 2012, pagi itu begitu sejuk setelah semalam hujan cukup lebat, saya dan istri memandikan si kecil Bumi lalu menunggu istri selesai ndulang Bumi. Kami berangkat ke Darungan.

Darungan adalah nama dusun, letaknya sekitar 12 km dari pusat kota Jember. Sebagian besar warganya hidup dengan bertani, beternak, sebagian buruh gudang, ada juga yang bekerja sebagai guru, sebagai penjaga gudang, sebagai buruh bangunan dan sebagian lagi bekerja sebagai aparat desa.    

Kami mulai memasuki wilayah Darungan, sebelum mencapai ke rumah si Mbah-nya Bumi kami melewati area persawahan di kanan-kiri, dengan jalan desa yang hanya cukup 1 mobil, kami juga melewati area pohon-pohon bambu.

Suasana pedesaan cukup terasa (meskipun Darungan tidak jauh dari pusat kota), ditambah hawa sejuk setelah hujan cukup lebat semalam.      

Setibanya di rumah si Mbah-nya Bumi, seperti biasa tidak lama setelah itu saya langsung disambut kopi lokal (deplokan/di tumbuk), yang berbeda dengan yang sudah-sudah hidangan tape ketan hitam plus tetel. Gak ada kata lain selain esiiiip, hehe    

Meskipun tidak ada yang 'wah'. Melihat sawah, bebek, merasakan hawa sejuk, melihat sungai kecil (letaknya 10 meter di samping rumah si Mbah-nya Bumi) endapan tanah di sungai mengeluarkan bau khas, ada bau gabah yang dibakar juga sangat khas aromanya, suara sapi.

Suasana itu cukup membuat urat syaraf rileks. Ditambah tape ketan hitam, tetel, kopi, dan rokok kretek idola saya. Terima kasih Tuhan atas pagi yang istimewah itu.