Senin, 07 Januari 2013

Film Pendek (indie) di Jember ; 2

Sekitar tahun 2002, saya berkenalan dengan Toni Agustian, saat silaturahmi ke rumahnya kebetulan dia sedang asik utak atik sesuatu di depan monitor PC, rupanya dia sedang main-main editing video. Dan, kereeen benar-benar kreatif hasil editingnya. Animasinya, grafis-grafisnya, colouring clip-nya, dan yang lainya saya berani bilang 11-12 dengan standart editing MTV yang kala itu sedang trend di kalangan anak muda.

Saya bertambah terperangah saat saya tau bahwa Toni sudah membuat ratusan lagu, membuat puluhan video clip, dan itu dia kerjakan sendiri. Dengan media pengambilan gambar yang sederhana pula, ada yang pakai webcam, ada yang pakai handycam HI-8, ada yang pakai handphone, PC editing Toni pun saat itu spesifikasinya sangat biasa jika dibandingkan dengan PC standart video editing. Tapi hasilnya langsung membuat saya spontan bisa berbahasa Inggris, really-really amaziing.

Jelas saya bangga dan makin bersemangat, ternyata Jember punya seorang Toni Agustian yang kemampuan dalam multimedia bisa dibilang selevel tidak saja nasional tapi internasional. Dan itu dia pelajari secara autodidak.

Tahun 2005, beberapa kawan muda yang waktu itu berstatus mahasiswa Unej, muncul dengan mengusung konsep komunitas, dengan nama Koin (Komunitas Film Indie). Para pionirnya adalah Wahyu, Trik, Timbul, Muslika, Adi Sumeh, Pipin. Koin juga telah membuat banyak karya film pendek, telah 2 kali mengadakan Festival Film Jember. 

Telah berhasil pula membangun hubungan dengan kawan-kawan komunitas luar Jember, dan sempat beberapa kali mengundang mereka ke Jember. Pengkaderan anggota di Koin telah menghasilkan 3 generasi.  

Saya juga masih ingat dengan kawan-kawan Sinemastra (Sinema Sastra) Unej, kumpulan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia yang menempuh mata kuliah audio visual. Mereka juga pernah mewarnai geliat film pendek di Jember. Tapi saya tidak paham kapan tepatnya terbentuk dan memulai eksistensinya.  

Tahun 2007, kawan-kawan Ilmu Komunikasi Fisip Unmuh Jember muncul dengan KAVK (Karimata Audio Visual Komunikasi). Pionirnya adalah Tika, Noga, Galuh, Evi, Yeni, Galih. Beberapa kali telah mengadakan worskhop, dan menghasilkan karya-karya film pendek. Komunitas ini eksis hingga 2009, menghasilkan 2 generasi.

Tahun 2008 setelah selesai acara In-Docs Travelling (pemutaran dan workshop film dokumenter) di gedung PKM Unej, ada temu komunitas dan videomaker. Yang hadir waktu itu saya, Koin (4 orang), KAVK (3 orang), Sofie (In-Docs), Taufan Agustian, Toni Agustian, dan yang menggembirakan hadir juga kawan-kawan dari SMA 3 Jember, SMK 2 Jember, SMAK Santo Paulus Jember. 

Saat itu kawan-kawan SMA/SMK belum terbentuk secara komunitas, kehadiran mereka waktu itu justru ingin paham tentang perfilman dan komuntias film. Jadi, saat itu embrio-embrio videomaker dari kalangan pelajar SMA/SMK sudah mulai terbentuk.          

Tahun 2009, seorang pegiat film pendek asal Ajung Kalisat yang banyak berprosesnya di Kine Klub Unmuh Malang, berhasil masuk sebagai 5 finalis Eagle Award Documentary Competition yang diselenggarakan Metro TV. Dialah Taufan Agustian, dengan mengangkat potensi wisata kota kelahiranya, JFC (Merajut Impian Diatas Catwalk Jalanan). Dan berhasil meraih 3 kategori award.          

Setelah tahun 2009 saya tidak pernah mengikuti lagi perkembangan eksistensi kawan-kawan pegiat film pendek di Jember, saat itu saya juga lambat laun meninggalkan dunia film pendek (indie) ataupun dunia audio visual. Karena kondisi pekerjaan saya saat itu mengharuskan saya fokus penuh.     

Minggu, 06 Januari 2013

Film Pendek (Indie) di Jember ; 1

Pergerakan film indie di Jember tidak terlepas dari pengaruh akan bangkitnya kembali konsep produksi film secara mandiri. Sekitar tahun 1997/1998 sejumlah pegiat film muda di Jakarta seperti Riri Reza, Rizal Mantovani, Mira Lesmana, berhasil memicu bangkitnya kembali semangat independen (mandiri, tidak terikat dengan pihak manapun). Kuldesak, film indie yang menjadi triger bagi pegiat-pegiat film indie di berbagai kawasan di Indonesia.  

Geliat film indie di Jember diawali sekitar tahun 1999, ketika film indie garapan mas Ilham Zoebazary dengan dibantu oleh para pegiat audio visual yang mumpuni seperti mas Didik Suharijadi, dan mas Djoko Suprianto, berhasil menjuarai Festival Film dan Video Independen yang diselenggarakan oleh Komunitas Film Independen (Konfiden) di Jakarta, disuport juga oleh sebuah media televisi swasta nasional. 

Prestasi yang mengejutkan dan menjadi kebanggan tidak saja bagi masyarakat Jember tapi juga secara nasional. Mengejutkan karena sebagian besar masyarakat Jember bahkan bagi kalangan pelaku seni di Jember pun masih awam dengan konsep film pendek yang indie, plus pandangan pesimis tentang kota kecil Jember yang kala itu dinilai tertinggal jauh dengan  kota-kota besar di Indonesia.

Setelah itu, mereka bertiga terus berkarya menghasilkan banyak film-film pendek. Terbukti prestasi dan semangat mereka berhasil memicu banyak orang di Jember khususnya para pelaku muda kesenian. 

Tahun 2000, kawan-kawan muda dari beberapa organisasi intra kesenian yang sebelumnya hanya terikat kopi alias konco ngopi dan yang pasti ada ikatan sesama insan kesenian. Ikwan, Gama, Robi, Rosi (DKK Sastra Unej), Mamok (UKM Kesenian Pusat Unej), Oyot (UKM Gudang Unmuh Jember), Sapto (Sastra Unej).  

Dengan hanya bekal semangat ndil, dibantu beberapa kawan yang berpengalaman di audio visual dan didampingi oleh mas Didik Suharijadi sembari juga kon-takon ke mas Ilham dan mas Djoko. Karena film yang kami buat bertemakan kehidupan percintaan pelajar di pedesaan, maka kami merangkul SMAN 1 Balung melalui mas Heri sebagai guru ektra kulikuler kesenian.

Kami melakukan proses shooting  "Embun Mencumbu Debu" berdurasi 45 menit. Selama 1 bulan menetap di lokasi shooting (SMAN 1 Balung). Beberapa titik shooting tidak jauh dari SMAN 1 Balung. Pembuatan film Embun Mencumbu Debu sebagai media pembelajaran bagi kami.

Tahun 2001, saya merangkul beberapa kawan teater Layar Unmuh Jember (Abad, Trias, Susi)  dan mengajak beberapa kawan DKK Sastra Unej  (Nanda, Shomad, Bebeh, Dedi Junob, Robi)  membuat film pendek berduarsi 30 menit. 'Dialog Sudut Kota', film pendek pertama saya. Tetap berkonsultasi dengan mas Didik Suharijadi, bahkan proses pasca produksinya difasilitasi oleh mas Didik Suharijadi dan dibantu oleh Rosi di proses editing.

Setelah tahun itu saya terus bereksperimen dengan film-film pendek (video art, dokumenter, fiksi, bumper, video docs) sambil terus belajar kepada kawan-kawan videomaker ataupun komunitas film yang sudah berpengalaman, dari dalam maupun luar Jember. Dengan kawan luar Jember sekaligus membangun hubungan yang saling bermanfaat. Saat itu saya hanya punya senjata, HI-8. 

Tahun 2001 keatas, ada beberapa kawan videomaker maupun komunitas film luar Jember mulai datang bersilaturahmi dan berkegiatan (screening, workshop, distribusi film). Seperti mbak Lintang dari Konfiden Jakarta, Sofie dari In-Docs Jakarta, Dimas Kine Klub Unmuh Malang, dan kawan-kawan Forum Film "Kami Jogja Kita", dan beberapa kawan lainya (saya lupa nama dan lembaganya).
    

Sabtu, 05 Januari 2013

Lelaki Bernama Bumi



Lelaki kecil bernama Al Ghofar Wirabumi. Nama itu muncul begitu saja, jauh sebelum saya menikah. Saat berniat, jika kelak setelah menikah lalu di karuniai anak, saya akan memberi nama anak saya yang sederhana saja, mudah diingat, bernuansa nusantara, mengandung arti yang baik dan memunculkan energi positif.  

Selesai itu saya tidak pernah sekalipun mencari-cari sebuah nama. Tidak lama lalu muncul begitu saja di kepala saya,Wirabumi. Walaupun saya bertanya-tanya dari mana dan bagaimana bisa nama Wirabumi yang spontan muncul di kepala saya, saya tidak ada niatan mencari taunya dan tidak perlu untuk mencari taunya. 

Saya bukan seorang kejawen, bukan seorang muslim yang fanatis, bukan penganut ideologi/aliran politik tertentu. Saya seorang yang biasa-biasa saja, berusaha hidup dengan baik, selayaknya orang-orang pada umumnya. Ketika muncul nama itu saya tidak menolaknya tapi tidak juga menerimanya dengan histeria. 

Saat itu saya hanya mengucap syukur atas anugerah nama yang begitu baiknya, lalu saya simpan baik-baik di memori otak saya nama itu. Untuk memastikan arti Wirabumi menurut saya, lalu saya konsultasi ke mbah google, menurut beberapa situs, arti kata Wirabumi adalah ; pemimpin bumi.         

Sekitar 1,5 bulan usia kehamilan istri saya, terpikir untuk menambahkan kata bernuansa muslim di depan Wirabumi, karena saya minim pengetahuan tentang nama-nama bernuansa muslim yang notabene berbahasa Arab daripada salah memberi nama, untuk lebih aman-nya saya memilih mencari nama-nama sebutan untuk Allah, sudah pasti 100% dijamin tidak salah dan dijamin bermakna baik.       

Saya memilih Al Ghofar,arti ke-Ilahian-nya adalah Yang Maha Adil. Saya sempat ragu, karena itu sebutan Ilahi, sangat Agung. Apakah tidak masalah diberikan kepada manusia, apakah pantas?. Lalu saya bertanya kepada beberapa orang yang saya anggap mumpuni ke-Islamanya. 

Ternyata tidak ada masalah, salah satunya berkata begini "selama niatanya tidak untuk 'men-Tuhan' kan yang diberi nama, atau niatanya mengambil spirit dari nama-nama Allah tersebut agar yang diberi nama terlindungi, dan kelak akan selalu ingat kepada yang menciptakanya, itu kan sangat bagus mas".

Mantablah sudah saya menambahkan nama depan anak saya, Al Ghofar Wirabumi. Jika artinya digabungkan menjadi pemimpin bumi yang adil atau pemimpin bumi yang paham akan keadilan. 

Orang tua manapun pasti menginginkan anaknya menjadi yang terbaik, dengan memberi nama yang terbaik pula.

Terima kasih Tuhan, selamat datang di Bumi nak, terima kasih telah melengkapi kebahagiaan kami.             
      

Jember Kota Beribu Rasa


Apa akar budaya kota Jember?

Wacana yang masih sering diperbincangkan dan diperdebatan mulai dari kalangan akademisi, aktivis kampus, peneliti sejarah, blogger, ormas tertentu, pers, hingga masyarakat awam. 

Bahkan masyarakat luar Jember yang pernah tinggal cukup lama di Jember, atau masyarakat luar Jember yang memilih berdomisili di Jember banyak juga yang ikut mewacanakan-nya.  

Itu sangat positif, menandakan bahwa Jember disayangi begitu banyak orang.  

Apapun wacananya apapun perdebatanya, bahwa yang pasti kondisi terkini di suatu daerah terbangun dari peradaban di waktu lalu, terbangun dari budaya-budaya yang masuk ke daerah itu. Kemudian secara alamiah (terjadi akulturasi budaya-budaya) yang kemudian membentuk budaya tersendiri.       

Saya melihat Jember sebagai sebuah anugerah tersendiri, tanpa perlu bingung tentang akar budayanya.    Anggap saja seperti menikmati album kompilasi musik dengan beragam genre. Ada banyak rasa, banyak ragam suara instrumen musik, banyak kesan, banyak pesan, banyak style, tentu juga banyak pilihan. 

Beragam-nya budaya-budaya yang dibawa masuk oleh para pendatang, mulai dari bahasa, seni, hingga kuliner menambah kayanya keberagaman di Jember. 

Mungkin saya agak congkak sedikit, kuliner apa sih yang tidak ada di Jember?. Nasi kabuli (Arab), roti cane (India), kebab (turki), gudeg (Jogja), coto (Makasar), nasi rendang (Padang), pempek (Palembang), pecel (Madiun), tahu kikil campur (Lamongan), nasi ayam hainan (Tiongkok), sate lilit (Bali), tape (Bondowoso), rujak soto (Banyuwangi), dan masih banyak lagi lainya.

Benar-benar banyak rasa, dan itu pilihan-pilihan yang tidak sepatutnya dilewatkan hehehe. 

Dari kuliner turun ke rasa, dari rasa memunculkan kesan, Jember kota beribu rasa.     

Selasa, 01 Januari 2013

Pagi di Darungan


Di ujung tahun 2012, pagi itu begitu sejuk setelah semalam hujan cukup lebat, saya dan istri memandikan si kecil Bumi lalu menunggu istri selesai ndulang Bumi. Kami berangkat ke Darungan.

Darungan adalah nama dusun, letaknya sekitar 12 km dari pusat kota Jember. Sebagian besar warganya hidup dengan bertani, beternak, sebagian buruh gudang, ada juga yang bekerja sebagai guru, sebagai penjaga gudang, sebagai buruh bangunan dan sebagian lagi bekerja sebagai aparat desa.    

Kami mulai memasuki wilayah Darungan, sebelum mencapai ke rumah si Mbah-nya Bumi kami melewati area persawahan di kanan-kiri, dengan jalan desa yang hanya cukup 1 mobil, kami juga melewati area pohon-pohon bambu.

Suasana pedesaan cukup terasa (meskipun Darungan tidak jauh dari pusat kota), ditambah hawa sejuk setelah hujan cukup lebat semalam.      

Setibanya di rumah si Mbah-nya Bumi, seperti biasa tidak lama setelah itu saya langsung disambut kopi lokal (deplokan/di tumbuk), yang berbeda dengan yang sudah-sudah hidangan tape ketan hitam plus tetel. Gak ada kata lain selain esiiiip, hehe    

Meskipun tidak ada yang 'wah'. Melihat sawah, bebek, merasakan hawa sejuk, melihat sungai kecil (letaknya 10 meter di samping rumah si Mbah-nya Bumi) endapan tanah di sungai mengeluarkan bau khas, ada bau gabah yang dibakar juga sangat khas aromanya, suara sapi.

Suasana itu cukup membuat urat syaraf rileks. Ditambah tape ketan hitam, tetel, kopi, dan rokok kretek idola saya. Terima kasih Tuhan atas pagi yang istimewah itu.